Danantara Indonesia, badan pengelola investasi yang baru diluncurkan Presiden Prabowo Subianto, kini menjadi perbincangan hangat. Dengan ambisi besar untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi nasional, Danantara diharapkan bisa menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi, pertanyaannya, apakah ini benar-benar solusi strategis atau hanya sekadar nama baru dari mekanisme lama?
Pertama-tama, kita perlu memahami apa itu Danantara. Secara sederhana, ini adalah badan investasi yang bertugas mengelola dividen dari BUMN dan mengalokasikannya untuk investasi strategis. Jika dibandingkan dengan Otoritas Investasi Indonesia (INA), perbedaannya cukup mencolok: INA berfokus pada menarik investasi asing, sementara Danantara bisa berinvestasi tanpa harus melibatkan pihak luar. Ini menarik karena artinya Danantara berpotensi memperkuat kedaulatan ekonomi nasional.
Namun, apakah ini berarti BUMN akan lebih efisien? Salah satu tantangan terbesar BUMN selama ini adalah birokrasi yang lamban dan pengelolaan yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik. Jika Danantara hanya menjadi ‘wadah’ baru tanpa perbaikan sistemik, maka efisiensi yang dijanjikan bisa jadi hanya mimpi.
Menariknya, Danantara mengelola aset sebesar Rp14,72 kuadriliun atau sekitar US$900 miliar (sumber). Ini angka yang luar biasa besar, bahkan lebih besar dari PDB beberapa negara. Namun, besar nominal tidak selalu berarti besar manfaat. Yang jadi pertanyaan, bagaimana pengelolaan dana sebesar itu agar benar-benar berdampak pada masyarakat?
Salah satu tujuan utama Danantara adalah hilirisasi industri. Pemerintah ingin agar Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tambah. Ini tentu strategi yang bagus, mengingat selama ini Indonesia sering menjadi ‘pemasok bahan baku’ bagi negara lain tanpa menikmati keuntungan optimal.
Hilirisasi bukan ide baru, konsep ini memang sudah sejak lama dicanangkan oleh Prabowo Subianto. Periode kedua pemerintahan pak Jokowi, beliau sudah mulai mendorong kebijakan ini, terutama pada sektor nikel dan pertambangan lainnya. Namun, implementasinya masih jauh dari sempurna. Masalah utama adalah kesiapan infrastruktur dan tenaga kerja. Jika Danantara benar-benar ingin sukses, maka investasi pada aspek ini harus lebih diprioritaskan.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kekuatan yang besar, Danantara bisa saja menjadi ‘ladang bermain’ bagi segelintir elit. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin dana triliunan rupiah ini malah bocor ke proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya.
Menariknya, Danantara memiliki struktur pengawasan yang cukup kompleks. Ada Dewan Pengawas yang dipimpin oleh Erick Thohir, Dewan Penasihat yang mencakup tokoh-tokoh seperti SBY dan Jokowi, serta mekanisme pengawasan dari DPR. Namun, seberapa efektif pengawasan ini dalam praktiknya? Apakah ini hanya formalitas atau benar-benar bisa memastikan transparansi dan akuntabilitas?
Dalam konteks global, kita bisa melihat contoh dari Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia). Kedua lembaga ini berhasil mengelola investasi negara dengan cukup baik. Bedanya, mereka memiliki manajemen yang lebih independen dan tidak terlalu dipengaruhi oleh politik. Jika Danantara ingin meniru keberhasilan mereka, maka profesionalisme harus menjadi kunci utama.
Salah satu aspek menarik lainnya adalah dampaknya terhadap UMKM. Jika Danantara hanya berfokus pada proyek-proyek raksasa, maka UMKM bisa jadi terabaikan. Padahal, sektor ini adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Apakah Danantara punya skema investasi yang juga mengakomodasi pelaku usaha kecil dan menengah?
Kemudian, ada isu mengenai dampak sosial dan lingkungan. Jika investasi Danantara lebih banyak diarahkan ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan energi, maka bagaimana dengan keberlanjutan lingkungan? Harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang.
Saya pribadi melihat Danantara sebagai konsep yang menarik dan potensial, tetapi eksekusinya harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai ini hanya menjadi lembaga besar yang sulit diawasi dan malah membebani negara.
Yang juga perlu dipikirkan adalah keterlibatan masyarakat. Danantara seharusnya tidak hanya dikelola oleh segelintir elite, tetapi juga memiliki mekanisme transparansi yang bisa diakses oleh publik. Dengan dana sebesar itu, rakyat berhak tahu bagaimana uang mereka dikelola.
Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan melihat apakah Danantara benar-benar bisa menjadi game-changer bagi ekonomi Indonesia atau hanya sekadar tambahan birokrasi. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada kepemimpinan yang kuat, transparansi, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Jika Danantara bisa menjalankan misinya dengan baik, ini bisa menjadi langkah besar menuju Indonesia yang lebih mandiri secara ekonomi. Namun, jika gagal, kita hanya akan melihat pengulangan dari skenario lama: investasi besar dengan hasil yang minim.
Sebagai masyarakat, kita harus tetap kritis dan mengawal perkembangan Danantara. Jangan hanya menerima narasi ‘ini untuk kemakmuran bangsa’ tanpa mempertanyakan bagaimana mekanisme dan dampaknya bagi kita semua.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya badan investasi besar, tetapi sistem ekonomi yang benar-benar inklusif dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Danantara bisa menjadi alat untuk mencapai itu—atau justru menjadi bagian dari masalah yang sama. Waktu yang akan menjawab.