Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan kritik terhadap ketimpangan hukuman dalam sistem peradilan Indonesia. Beliau menyoroti kasus di mana pelaku korupsi dengan nilai ratusan triliun rupiah mendapatkan hukuman ringan, sementara pencuri kecil seperti pencuri ayam dihukum berat. Kritik ini menjadi perhatian publik karena mencerminkan masalah serius dalam keadilan hukum di Indonesia.
Disparitas Hukuman dalam Kasus Korupsi dan Kejahatan Kecil
Kasus-kasus korupsi besar sering kali berakhir dengan vonis yang dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Sebagai contoh, vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah menuai kritik karena dinilai terlalu ringan dibandingkan dengan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah . Sebaliknya, pelaku kejahatan kecil seperti pencurian ayam kerap menerima hukuman yang lebih berat, mencerminkan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Sejarah Korupsi dalam Peradaban Manusia
Korupsi bukanlah fenomena baru; praktik ini telah ada sejak zaman kuno. Dalam peradaban Mesir Kuno, korupsi tercatat dalam sistem peradilan sejak Dinasti Pertama (3100–2700 SM) . Di Yunani Kuno, sejarawan Herodotus mencatat bahwa keluarga Alcmaeonid menyuap pendeta Orakel Delphi untuk mendapatkan kekuasaan di Athena . Di Indonesia, praktik korupsi telah ada sejak era kerajaan, dengan catatan pungutan liar sejak abad ke-13 . Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi tantangan bagi peradaban manusia sepanjang masa.
Analisis Ketimpangan Hukuman dan Dampaknya
Ketimpangan hukuman antara pelaku korupsi besar dan kejahatan kecil mencerminkan masalah serius dalam sistem peradilan. Hukuman ringan bagi koruptor dapat memberikan sinyal bahwa kejahatan kerah putih tidak dianggap serius, yang pada gilirannya dapat mendorong praktik korupsi lebih lanjut. Sebaliknya, hukuman berat bagi pelaku kejahatan kecil mencerminkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap faktor-faktor sosial ekonomi yang mendorong individu melakukan kejahatan.
Disparitas ini juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan pemerintah. Masyarakat mungkin merasa bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, yang dapat memicu ketidakpuasan dan ketidakstabilan sosial.
Langkah Presiden Prabowo untuk Mendorong Perubahan
Presiden Prabowo telah menyatakan keinginannya untuk memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang yang dicuri dari rakyat, dengan kemungkinan mendapatkan pengampunan . Pendekatan ini menekankan pemulihan aset negara dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahan. Namun, pendekatan ini menuai beragam respons. Ketua KPK Setyo Budiyanto menyatakan bahwa ucapan Prabowo perlu ditindaklanjuti dengan detail lebih lanjut sebelum dapat direspons secara resmi . Sementara itu, Wakil Ketua Wantim MUI, Zainut Tauhid Sa’adi, mengapresiasi ide Prabowo, dengan catatan bahwa pengembalian uang hasil korupsi harus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Meski pendekatan ini menuai respons beragam, ide tersebut mencerminkan upaya untuk mencari solusi yang konstruktif terhadap masalah korupsi yang telah lama menjadi penyakit kronis di Indonesia.
Pembelajaran dari Sejarah dan Rekomendasi
Sejarah menunjukkan bahwa korupsi dapat meruntuhkan peradaban jika tidak ditangani dengan serius. Oleh karena itu, reformasi sistem peradilan menjadi kebutuhan mendesak. Berikut adalah beberapa rekomendasi:
- Penegakan Hukum yang Adil: Pastikan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, tanpa memandang status sosial pelaku.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Tingkatkan transparansi dalam proses hukum untuk mencegah manipulasi.
- Pendidikan Anti-Korupsi: Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya integritas melalui pendidikan dan kampanye publik.
- Perlindungan Whistleblower: Berikan perlindungan bagi individu yang melaporkan praktik korupsi.
- Reformasi Struktural: Lakukan perubahan dalam lembaga peradilan untuk meningkatkan efisiensi dan integritas.
Kritik Presiden Prabowo terhadap ketimpangan hukuman menjadi refleksi penting bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem peradilan. Dengan langkah-langkah reformasi yang tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk memberantas korupsi dan membangun sistem hukum yang lebih adil dan terpercaya. Keberhasilan ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik tetapi juga memperkuat fondasi bangsa menuju masa depan yang lebih sejahtera.